Pages

Selasa, 24 September 2013

Tradisi omed-omedan, ciuman masal di desa sesetan, Bali

Omed-omedan, Tradisi Ciuman Massal Desa Sesetan

   Sehari pasca-Nyepi, ada sebuah tradisi unik yang selalu digelar pemuda-pemudi Banjar Kaja, Sesetan, Denpasar, yakni omed-omedan atau ciuman massal antara pemuda dan pemudi desa sebagai wujud kebahagiaan di hari ngembak geni. Peserta omed-omedan adalah sekaa teruna-teruni atau pemuda-pemudi mulai dari umur 17 tahun hingga 30 tahun atau yang sudah menginjak dewasa tetapi belum menikah.

Dalam Kamus Bali-Indonesia, omed-omedan berarti tarik-menarik. "Omed-omedan adalah budaya leluhur yang sampai saat ini terus kita lestarikan," ujar I Putu Wiranata Jaya, ketua panitia. Pernah suatu waktu omed-omedan tidak dilaksanakan dan muncul musibah yang ditandai dengan perangnya 2 ekor babi di Banjar Kaja. Kemudian para sesepuh desa memutuskan untuk langsung menggelar prosesi omed-omedan untuk menjauhkan desa dari bencana yang lebih besar.

Prosesi omed-omedan dimulai dengan persembahyangan bersama antarpeserta omed-omedan di pura banjar untuk memohon keselamatan dan kelancaran selama berlangsungnya acara. Seusai sembahyang, peserta dibagi 2 kelompok, pria dan wanita. Sekitar 50 pemuda berhadapan dengan 50 pemudi. Setelah ada aba-aba dari para sesepuh desa, kedua kelompok saling bertemu satu sama lain dan peserta terdepan saling berciuman di depan ribuan penonton yang memadati sekitar lokasi omed-omedan.

Prosesi tersebut dilakukan secara bergantian dan setiap peserta pria ataupun wanita menunjuk salah seorang rekan mereka untuk beradu ciuman di barisan terdepan.

#dari berbagai sumber#

Minggu, 22 September 2013

Tradisi Perang Tipat Bantal di Bali

TRADISI PERANG TIPAT-BANTAL DI KAPAL, MENGWI, BALI

 

      Perang Tipat-Bantal adalah sebuah tradisi tahunan yang digelar sejak tahun 1337 oleh masyarakat lokal di Desa Adat Kapal, Mengwi,  Kabupaten Badung, Bali. Perang yang tergolong unik itu setiap tahun sekali wajib dilakukan masyarakat Desa Kapal, sesuai perintah (bhisama) Ki Kebo Iwa sejak tahun 1263 atau tahun 1341 masehi yang merupakan ungkapan syukur warga kepada Tuhan, atas rezeki dan nikmat yang telah diberikan. Kepercayaan tersebut dilakukan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya hingga kini masih tetap lestari. Ritual perang tipat-bantal tahun ini dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 09 Oktober 2012 pukul 15.00 Wita yang berlokasi di Pura Desa Kapal.
Perang ketupat ini ditujukan kepada masyarakat Desa Kapal untuk melakukan “Tajen pengangon” untuk mohon keselamatan dan kesejahteraan umat manusia. Tradisi ini sering juga disebut Aci Rah Pengangon oleh masyarakat setempat.
    
Ritual yang berlangsung di Pura Desa Kapal ini diawali dengan upacara sembahyang bersama oleh seluruh warga desa. Pada upacara tersebut, pemangku adat akan memercikan air suci untuk memohon keselamatan para warga peserta Perang Tipat-Bantal (perang ketupat) ini. Tidak lama kemudian beberapa pria melepas baju dan bertelanjang dada. Mereka terbagi dua kelompok dan berdiri saling berhadapan. Di depan mereka telah tersedia tipat (ketupat) dan bantal (penganan dari tepung ketan dan kelapa).
Setelah aba-aba dimulai, para pria yang bertelanjang dada itu mulai melemparkan tipat dan bantal itu ke kelompok yang ada di depan mereka. Suasana pun gempar ketika tipat dan bantal itu mulai beterbangan di udara. Lalu aksi lempar ketupat dan bantal itu dihentikan sementara. Warga mulai beranjak keluar pura. Kini mereka bersiap di jalan raya yang berada di depan pura lalu tetap berdiri berkelompok, dan saling berhadapan sekitar 15 meter. Suasana kembali riuh ketika ritual itu dimulai lagi. Warga melempar tipat dan bantal itu membabi buta sambil berteriak-teriak dan tertawa.
     “Perang” ini menjadi lebih seru ketika para penonton yang berdiri di trotoar ikut mengambil dan melempar tipat itu. Terkadang tak jarang ada ketupat “nyasar” ke arah penonton atau fotografer yang tengah mengabadikan momen ini. Beberapa dari warga yang menonton berteriak dan mencoba berlindung. Maklum, jika terkena lemparan tipat dan bantal ini, badan terasa sakit seperti ditampar benda keras. Walau begitu, tidak ada seorang pun yang marah dan ketika perang berakhir, semua orang berjabat tangan dengan penuh suka cita.
     Bendesa adat, Kapal Anak Agung Gede Dharmayasa, mengatakan, makna dari ritual ini adalah tipat dan bantal itu harus dilemparkan ke atas dari dua sisi kelompok dan diharapkan bertemu. Tipat merupakan lambang feminim dan bantal merupakan lambang maskulin. Pertemuan antara tipat dan bantal itu merupakan pertemuan maskulin dan feminim. “Laki-laki dan perempuan ketika bertemu akan melahirkan kehidupan,” kata Dharmayasa.

#dari berbagai sumber.

 

Rabu, 18 September 2013

Tradisi mekotek/ngerebeg di Bali



Tradisi Mekotek di Munggu, Mengwi, Bali

Tradisi mekotek di desa Munggu

    Upacara Mekotek dilaksanakan dengan tujuan memohon keselamatan. Upacara yang juga di kenal dengan istilah ngerebek. Mekotek ini adalah warisan leluhur, adat budaya dan tradisi yang secara turun temurun terus dilakukan umat Hindu di Bali.
     Pada awalnya pelaksanaan upacara Mekotek diselenggarakan untuk menyambut armada perang yang melintas di Munggu yang akan berangkat ke medan laga, juga penyambutan pasukan saat mendapat kemenangan perang Blambangan pada masa kerajaan silam.
       Dahulunya upacara ini menggunakan tombak yang terbuat dari besi. Namun seiring perkembangan zaman dan untuk menghindari peserta yang terluka maka sejak tahun 1948 tombak besi mulai diganti dengan tombak dari bahan kayu pulet. Tombak yang asli dilestarikan dan disimpan di pura.
 Mekotek sendiri diambil dari kata tek-tek yang merupakan bunyi kayu yang diadu satu sama lain sehingga menimbulkan bunyi.
       Perayaan upacara Mekotek selalu dilakukan oleh warga Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali, pada setiap Hari Raya Kuningan. Selain sebagai simbol kemenangan, Mekotek juga merupakan upaya untuk menolak bala yang pernah menimpa desa puluhan tahun lalu.
Pada saat itu Perayaan upacara Mekotek dilarang oleh pemerintah kolonial Belanda 1915 (Ida Bagus Gede Mahadewa) karena takut terjadi pemberontakan, namun akibat dari larangan tidak boleh mengadakan upacara Mekotek tersebut muncul wabah penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan banyak memakan korban jiwa. Lalu terjadi perundingan dan akhirnya diizinkan kembali, sejak saat itu tidak pernah ada lagi bencana.  
Tradisi mekotek di desa Munggu Bali
  
          Upacara  ini Makotek ini diikuti sekitar 2000 penduduk Munggu yang terdiri dari 15 banjar turun kjalan dari umur 12 tahun hingga 60 tahun. Mereka mengenakan pakaian adat madya dengan hanya mengenakan kancut dan udeng batik dan membawa selonjoran kayu 2 meter yang telah dikuliti. Pada tengah hari seluruh peserta berkumpul di pura Dalem Munggu yang memanjang. Disana dilakukan upacara syukuran bahwa selama 6 bulan pertanian perkebunan dan segala usaha penduduk berlangsung dengan baik, setelah serangkaian upacara berlangsung, keseluruhan peserta melakukan pawai menuju ke sumber air yang ada di bagian utara kampung. Warga kemudian terbagi dalam beberapa kelompok . Di setiap pertigaan yang dilewati masing masing kelompok yang terdiri dari 50 orang akan membuat bentuk segitiga menggabungkan kayu-kayu tersebut hingga berbentuk kerucut lalu mereka berputar, berjingkrak dengan iringan gamelan.
         Pada saat yang tepat seorang yang dianggap punya nyali sekaligus punya kaul akan mendaki puncak piramid dan melakukan atraksi entah mengangkat tongkatnya atau berdiri dengan mengepalkan tangan, sambil berteriak laksana panglima perang  mengkomamdoi prajuritnya untuk terus menerjang musuh lalu kemudian ditabrakkan dengan kelompok yang mendirikan tumpukan kayu yang lain. Sesampai di sumber air, tameng suci, segala perangkat upacara yang dibawa dari Pura Dalem diberi tirta air suci dan dibersihkan. Kemudian mereka melakukan pawai kembali ke Pura Dalem untuk menyimpan semua perangkat yang dibawa berkeliling tadi.
Ini adalah suatu aktraksi adat budaya yang saat menarik untuk anda saksikan,yang hanya ada di Bali pulau Dewata